ObjectRight

Sunyi Perjuangan Guru di Bogor Lawan Pernikahan Anak

Situs News Indoesia Alternatif Informasi Berita Viral Terbaru

Jakarta, kalduikan Indonesia

Suara nyaring
anak-anak
dengan seragam merah putih yang sedang membaca terdengar lantang dari sebuah ruang kelas sempit di Kampung Cijantur, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor.
Suara lantang dan semangat itu nampak kontras dengan bangunan kelas yang justru mulai rapuh, lantainya dingin tanpa keramik, dan hanya ada satu papan tulis yang dipakai bergantian.
Sekilas, ruangannya agak sedikit terlihat suram. Tapi, di ruangan inilah setiap hari, Zentri Hartanti, satu-satunya guru perempuan di sekolah tersebut berusaha menjaga agar masa depan anak-anak tidak berhenti terlalu cepat, bersinar, dan jauh dari kata suram seperti ruang kelas yang mereka tempati.
Sejak 2017, Zentri mengajar di SD Negeri Kadusewu Jarak Jauh. Sekolah kecil ini terdiri dari empat ruang kelas untuk menampung sekitar 150 siswa dari kelas 1 hingga 6.
Jumlah tenaga pengajar juga terbatas. Totalnya hanya 5 guru termasuk Zentri.
Fasilitas juga sangat seadanya. Gaji yang diterima Zentri sebagai guru honorer juga jauh dari cukup.
Semangat belajar murid jadi salah satu alasan yang membuat Zentri bertahan. Ia juga bertekad agar anak-anak di kampung ini tak lagi terjerat pernikahan dini.
“Anak-anak di sini semangat sekali belajar, tapi gurunya kurang, ruang kelasnya juga terbatas. Tapi saya tetap mengajar di sini walau sekarang sudah diangkat jadi guru PNS. Karena saya ingin mereka jangan sampai ada yang nikah muda lagi,” kata Zentri saat berbincang dengan
kalduikanIndonesia.com
, di ruang kelas setelah mengajar di satu siang bulan Agustus.
Sejengkal dari Jakarta tapi bak ribuan kilometer jaraknya
Cijantur hanya berjarak sekitar 2,5 jam dari pusat pemerintahan di Jakarta. Namun, potret yang tampak di sini terasa berbeda jauh.
Banyak anak perempuan menikah pada usia 14 atau 15 tahun, bahkan ada yang segera dinikahkan begitu mengalami menstruasi pertama.
Di sini, sekolah bukan prioritas. Sebagian orang tua masih memegang keyakinan bahwa anak perempuan hanya perlu bisa membaca dan berhitung, selebihnya menyiapkan diri untuk urusan dapur, suami, dan rumah tangga.
Zentri mengaku kerap mendengar kalimat yang membuat hatinya perih. ‘
Ngapain sekolah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya juga ke dapur
,’ begitu ucapan yang sering dilontarkan sebagian orang tua.
“Kadang suka sedih
ya
, pendidikan kita, meskipun dekat dengan kota, masih kurang sekali. Padahal anak-anak di sini berhak punya cita-cita tinggi, berhak jadi orang sukses,” tutur Zentri.
Di Cijantur, pernikahan dini bukan hal langka. Bahkan, banyak perempuan yang baru menginjak usia 20 tahun sudah pernah menikah hingga dua atau tiga kali.
Fenomena ini berawal dari praktik pernikahan anak yang masih marak. Anak perempuan kerap dinikahkan sejak usia 13 tahun.
Pernikahan yang dilakukan di usia belia tersebut jarang bertahan lama. Tidak sedikit yang berakhir dengan perceraian, lalu kembali menikah dengan pasangan baru di usia yang masih sangat muda.
Masalah tak berhenti di situ. Pernikahan dini juga membawa dampak serius terhadap kesehatan.
Angka kelahiran di Cijantur tinggi. Namun, bersamaan dengan itu, angka kematian bayi pun mengkhawatirkan. Banyak remaja putri yang hamil tanpa kesiapan fisik dan mental, sehingga rentan mengalami keguguran.
Ketidaksiapan ini juga berdampak pada tumbuh kembang anak. Bayi yang lahir dari rahim remaja sering kali mengalami kurang gizi karena ibunya sendiri masih berada dalam fase pertumbuhan.
“Mereka belum siap menjadi ibu, tapi sudah harus mengasuh anak,” kata Zentri.
Kondisi ini membentuk lingkaran masalah yang sulit diputus. Remaja yang menikah muda kehilangan kesempatan melanjutkan pendidikan, lalu kembali terjebak dalam pernikahan yang tidak sehat.
Di sisi lain, kurangnya pemahaman soal kesehatan reproduksi membuat risiko keguguran, stunting, dan kematian bayi semakin besar.
Warga di sana juga tampak kurang peduli dengan pendidikan anak. Hal ini tercermin saat musim panen atau ketika orang tua mereka mendapat pekerjaan tambahan, anak-anak sering diajak ke kebun atau ikut mengangkut hasil panen. Alhasil, banyak yang absen sekolah.
Zentri tentu tak tinggal diam. Ia berani menegaskan kepada orang tua, agar anak-anak tetap berada di kelas hingga jam belajar selesai.
“Soalnya pendidikan sekarang penting, Bu, Pak. Kalau mau
nyari
kerja, anak-anak harus ada ijazah. Harus punya keahlian biar bisa mengubah kehidupan,” begitu kalimat yang berulang kali ia sampaikan dalam rapat sekolah maupun pertemuan desa.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya..

Baca lagi: Thailand Batalkan Kasus Eks PM Thaksin yang Dituduh Hina Kerajaan

Baca lagi: The chronology of the story of the Sukabumi toddler died after the body was filled with worms

Baca lagi: Pediatrician Mayapada Hospital in South Jakarta Alert 24 Hours

Exit mobile version