Gulat sumo Jepang adalah salah satu olahraga tradisional yang telah ada sejak ratusan tahun lalu. Olahraga ini dikenal dengan kekuatan fisik, keahlian dalam teknik, dan nilai-nilai budaya yang sangat dihormati oleh masyarakat Jepang. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, olahraga ini menghadapi sejumlah tantangan, termasuk berkurangnya jumlah peminat. Meskipun demikian, sumo tetap menjadi simbol penting dari budaya Jepang.
Sumo memiliki akar yang sangat dalam dalam sejarah Jepang. Awalnya, sumo adalah bagian dari ritual keagamaan yang bertujuan untuk menarik berkah dari para dewa. Seiring berjalannya waktu, olahraga ini berkembang menjadi kompetisi yang melibatkan dua pegulat yang berusaha menjatuhkan lawannya dalam arena yang disebut dojo. Pada abad ke-8, sumo mulai dikenal sebagai olahraga formal di istana kekaisaran, dan sejak saat itu, popularitasnya terus meningkat.
Pada masa modern, sumo tidak hanya menjadi olahraga, tetapi juga merupakan bagian penting dari identitas budaya Jepang. Setiap tahun, ada enam turnamen besar yang diselenggarakan di Jepang, dan pegulat sumo yang berprestasi dapat mencapai pangkat tertinggi yang disebut yokozuna. Proses kenaikan pangkat dalam sumo melibatkan dedikasi, latihan yang sangat keras, dan pengorbanan yang besar.
Peraturan dalam sumo Jepang memang sangat ketat, namun pada September 2023, Asosiasi Sumo Jepang mengumumkan perubahan signifikan terkait persyaratan tinggi dan berat badan bagi calon pegulat sumo. Sebelumnya, para calon rikishi (pegulat) diwajibkan memiliki tinggi badan minimal 167 cm dan berat badan minimal 67 kg. Namun, kini peraturan tersebut dilonggarkan untuk menarik lebih banyak peminat.
Salah satu alasan utama perubahan peraturan ini adalah berkurangnya jumlah peminat yang mendaftar untuk menjadi rikishi. Pada tahun 2023, hanya terdapat 34 pendaftar, yang merupakan angka terendah dalam sejarah. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk penurunan angka kelahiran di Jepang, kekurangan minat terhadap olahraga tradisional, serta berbagai skandal yang pernah melibatkan dunia sumo.
Selain itu, rekrutmen pegulat sumo yang dilakukan enam kali setahun juga semakin sulit dilakukan. Banyak keluarga yang enggan mengirim anak-anak mereka untuk bergabung dengan heya (pusat pelatihan sumo), mengingat kehidupan yang keras dan jauh dari keluarga. Di heya, para pegulat harus menjalani pelatihan yang ketat, tinggal bersama wasit, juri, dan pelatih, serta harus menghadapi berbagai tekanan sosial dan fisik.
Perubahan sosial di Jepang, terutama penurunan angka kelahiran dan peningkatan angka kematian, turut mempengaruhi popularitas olahraga sumo. Dengan berkurangnya jumlah anak muda yang berminat, banyak orang tua yang merasa enggan untuk melepas anak mereka untuk bergabung dalam dunia sumo yang sangat disiplin dan penuh tantangan.
Sumo juga tidak lepas dari kontroversi. Pada tahun 2011, sebuah skandal besar terungkap ketika 13 pegulat senior terlibat dalam pengaturan hasil pertandingan, yang menghubungkan olahraga ini dengan kejahatan terorganisir dan perjudian ilegal. Kasus-kasus lain, seperti perundungan, kekerasan, dan pelecehan terhadap junior, juga memperburuk citra sumo di mata masyarakat. Semua ini menyebabkan banyak orang mulai kehilangan kepercayaan terhadap olahraga tradisional ini.
Meskipun menghadapi banyak tantangan, gulat sumo Jepang tetap menjadi simbol penting dari budaya dan tradisi Jepang. Perubahan peraturan yang dilonggarkan diharapkan dapat membuka jalan bagi lebih banyak orang untuk terjun ke dunia sumo, meskipun banyak tantangan yang harus dihadapi. Ke depannya, sumo akan terus berusaha mempertahankan keberadaannya, baik melalui pelatihan yang lebih inklusif maupun upaya untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap olahraga ini.