ObjectRight

Kondisi Miris Puluhan Korban TPPO Dalam Kapal di Pelabuhan Benoa Bali

Situs News Indoesia Alternatif Informasi Berita Viral Terbaru

Denpasar, kalduikan Indonesia

Kondisi miris puluhan korban kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (
TPPO
) saat disimpan dalam kapal yang lempar sauh di perairan Benoa,
Bali
diungkap tim kuasa hukum.
Tim Advokasi Perlindungan Pekerja Perikanan (Tangkap) telah melakukan pendampingan terhadap 21 orang calon anak buah kapal (ABK) Kapal Motor (KM) Awindo 2A yang diduga menjadi korban kasus TPPO di Pelabuhan Benoa tersebut.
Siti Wahyatun, salah satu kuasa hukum korban dari Tangkap menerangkan 21 korban tiba di Pelabuhan Benoa, Bali, sejak 8 Agustus 2025. Mereka lalu langsung ditempatkan di atas kapal KM Awindo 2A yang lempar sauh di Perairan Pelabuhan Benoa Bali.
Selama berada di kapal itu, Siti mengatakan para korban TPPO tidak diberikan akses untuk ke darat.
“Mereka tidak diberikan akses untuk itu, bahkan sebagian dari mereka
handphone
-nya disita, identitas pribadinya juga disita seperti KTP. Jadi mereka sangat sulit untuk akses di sana,” kata Siti saat konferensi pers di Kantor LBH Bali, Denpasar, Senin (8/9) sore.
Selain itu, para korban diperintahkan kerja seperti mengecat kapal, membersihkan palka kapal atau ruang penyimpanan muatan yang berada di bawah geladak kapal, dan menguras solar, menimba air palka, karena mesin penguras airnya rusak. Semua itu dilakukan tanpa alat pelindung diri atau fasilitas keselamatan kerja.
“Dan tentu saja ini sangat berbahaya dilakukan. Karena hal-hal tersebut bisa mencelakai nyawa mereka sendiri jika dilakukan tanpa alat pelindung diri,” imbuhnya.
Para korban diketahui berusia 18 hingga 47 tahun. Mereka direkrut melalui media sosial Facebook oleh calo dari berbagai daerah di Indonesia. Para korban di antaranya berasal dari Depok, Lampung, Surabaya, Jakarta, Pandeglang, Tangerang, Bandung, Bogor, Brebes, Madiun, Temanggung, Boyolali, Cirebon, dan Cilacap.
Mereka direkrut sebagian untuk bekerja jadi Awak Kapal Perikanan (AKP) dengan iming-iming gaji antara Rp3 hingga Rp3,5 juta per bulan dan kasbon dari Rp5 juta hingga Rp6juta. Mereka juga dijanjikan fasilitas penunjang lain, tanpa potongan apapun.
“Sebagian korban mengalami penipuan berkaitan dengan posisi kerja, beberapa dijanjikan bekerja di Unit Pengolahan Ikan (UPI) untuk bagian pengemasan, beberapa dijanjikan bekerja di kapal penampung (
collecting
), dan beberapa tidak diberikan informasi berkaitan tempat kerja,” jelasnya.
Jeratan utang hingga jatah makan tiga sendok mie
Kemudian, di kapal tersebut mereka dibebankan utang Rp2,5 juta untuk membiayai akomodasi, jasa calo, jasa administrasi, dan biaya-biaya lainnya yang tidak ada di kesepakatan awal.
Siti mengatakan para korban disekap kurang lebih 7 hingga 8 hari. Selain itu, para korban hanya diberi makan dua kali setiap harinya dengan nasi dan lauknya adalah enam bungkus mie sayur yang bukan mie instan.
“Lalu dibagi untuk 30 orang, yang per orangnya hanya mendapatkan dua hingga tiga sendok mie saja. Terus, ada potongan kecil tempe atau telur, bahkan mereka sempat makan dengan sambal yang dibuat dari cabai yang sudah busuk,” ujarnya.
“Mereka tidak (dapat) air matang yang disediakan. Mereka terpaksa minum dari air palka kapal yang itu adalah air mentah dan kotor dan sangat tidak layak untuk konsumsi. Mereka membuat kopi juga terpaksa dengan air asin dan ketika malam hari mereka tidak disediakan penerangan, juga tidak ada listrik di kapal tersebut,” lanjutnya.
Dari pengakuan korban, mereka semula menyepakati tawaran kerja. Selanjutnya mereka dibawa calo ke sebuah tempat penampungan di Pekalongan, Jawa Tengah, lalu dibawa ke Pelabuhan Benoa untuk menangkap ikan dan cumi.
Tetapi, setibanya di Pelabuhan Benoa mereka ditempatkan di KM Awindo 2A dan dibebankan utang sebesar Rp2,5 juta. KTP dan telepon para korban juga ditahan. Kemudian mereka digaji Rp35.000 per hari atau Rp1.050.000 per bulan.
“Mereka belum menerima upahnya. Tapi mereka sudah dibebankan dengan utang Rp2,5 juta. Dan itu pun, jika mereka menolak untuk bekerja di kapal cumi ini, mereka disuruh diminta ganti rugi juga Rp 2,5 juta,” katanya.
“Jadi, akhirnya mereka terpaksa untuk tetap bertahan karena mereka tidak punya uang untuk membayar ganti rugi,” sambung Siti.
Kasus ini terungkap ketika aparat Polda Bali mengecek penerapan kesehatan dan keselamatan kerja (K3) pada KM Awindo 2A yang tengah berada di perairan Pelabuhan Benoa, pada 15 Agustus 2025. Setelah diperiksa, polisi menemukan indikasi tindak TPPO di kapal tersebut.
Polisi lalu berkoordinasi dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) untuk memberikan bantuan hukum kepada para korban, dan saat ini para korban telah dipulangkan sembari menjalani perawatan psikologi karena mengalami trauma.
Sejauh ini, total polisi mendata ada 21 orang yang menjadi korban dalam dugaan kasus TPPO di Benoa tersebut.
Kabid Humas Polda Bali Kombes Pol Ariasandy mengatakan 21 korban calon Anak Buah Kapal (ABK) itu telah diserahkan kepada Direktorat Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Proses penyerahan korban ke KKP itu dilakukan Selasa (2/9).
“Untuk dipulangkan ke rumahnya masing-masing,” kata Kombes Ariasandy, dalam keterangan tertulisnya, Kamis (4/9).
(kdf/kid)
[Gambas:Video kalduikan]

Baca lagi: Photo: The corpse flower from Sumatra finally blooms again in Poland

Baca lagi: Alasan Tersangka Mutilasi Mojokerto Bunuh Kekasih di Kosan Surabaya

Baca lagi: 42 thousand workers in 3 Hyundai factories in South Korea are compact strike

Picture of content

content

You may also like