Pemerintah Tajikistan telah mengeluarkan undang-undang yang melarang penggunaan hijab, langkah yang menjadi bagian dari serangkaian kebijakan terkait agama. Kebijakan ini dianggap kontroversial mengingat mayoritas penduduk Tajikistan adalah Muslim. Artikel ini akan membahas latar belakang kebijakan ini, bagaimana implementasinya, serta dampaknya terhadap masyarakat.
Pemerintah Tajikistan menyatakan bahwa larangan hijab bertujuan untuk melindungi nilai-nilai budaya nasional dan mencegah takhayul serta ekstremisme. Kebijakan ini disetujui oleh majelis tinggi parlemen Majlisi Milli pada 20 Juni 2024. Larangan ini meliputi semua bentuk "pakaian asing," termasuk hijab yang dikenakan oleh perempuan Muslim.
Menurut laporan dari Euro News, kebijakan ini merupakan salah satu dari 35 tindakan terkait agama yang diambil oleh pemerintah Tajikistan. Presiden seumur hidup Emomali Rahmon, yang berkuasa sejak 1994, telah lama mengambil langkah-langkah untuk membatasi pengaruh agama yang dianggap ekstremis. Langkah-langkah ini termasuk pembatasan terhadap Partai Kebangkitan Islam Tajikistan (TIRP) dan penutupan masjid.
Larangan hijab ini berlaku di seluruh wilayah Tajikistan, dan pelanggar akan dikenai denda yang cukup signifikan. Warga biasa yang melanggar akan didenda sebesar 7.920 somoni Tajikistan (sekitar Rp12 juta), sementara pejabat pemerintah akan dikenai denda sebesar 54.000 somoni (sekitar Rp82 juta). Tokoh agama yang melanggar kebijakan ini akan dikenai denda sebesar 57.600 somoni (sekitar Rp88 juta).
Selain larangan hijab, undang-undang baru ini juga berdampak pada beberapa praktik keagamaan lainnya. Salah satunya adalah larangan terhadap tradisi iydgardak, di mana anak-anak pergi dari rumah ke rumah untuk mengumpulkan uang saku pada hari raya Idul Fitri.
Keputusan ini mengejutkan banyak pihak, terutama mengingat bahwa 96% dari populasi Tajikistan adalah Muslim. Larangan ini dipandang sebagai upaya untuk memperkuat kendali pemerintah atas praktik keagamaan dan mengurangi pengaruh yang dianggap ekstremis.
Di masa lalu, pemerintahan Rahmon telah mengambil langkah-langkah serupa, termasuk melarang hijab di lembaga-lembaga publik seperti universitas dan gedung pemerintahan sejak tahun 2009. Langkah-langkah ini juga termasuk pembatasan terhadap pemakaian janggut yang lebat, yang dipandang sebagai tanda potensi ekstremisme.
Kebijakan ini telah memicu perdebatan mengenai kebebasan beragama di Tajikistan. Banyak yang melihatnya sebagai pelanggaran terhadap hak-hak individu untuk menjalankan kepercayaan mereka. Selain itu, kebijakan ini juga menimbulkan kekhawatiran mengenai meningkatnya pengawasan dan kontrol pemerintah terhadap praktik keagamaan.
Penutupan masjid dan perubahan fungsi masjid menjadi kedai teh atau pusat kesehatan menunjukkan bahwa pemerintah Tajikistan sangat serius dalam mengendalikan aktivitas keagamaan. Menurut Komite Urusan Agama Tajikistan, sebanyak 1.938 masjid ditutup dalam satu tahun pada 2017.
Larangan hijab di Tajikistan adalah bagian dari upaya pemerintah untuk melindungi nilai-nilai budaya nasional dan mencegah ekstremisme. Namun, kebijakan ini juga memicu kontroversi dan kekhawatiran mengenai kebebasan beragama dan hak individu. Dampaknya terhadap masyarakat Tajikistan masih perlu dilihat lebih lanjut, terutama dalam konteks hubungan antara pemerintah dan warga yang mayoritas Muslim. Kebijakan ini juga menjadi cerminan dari dinamika politik dan sosial di Tajikistan, serta tantangan yang dihadapi dalam mengelola keberagaman agama dan budaya.